Minggu, 13 Februari 2011

Awan Mendung Di Mata Vina



Mataku semakin lama memandang gambaran Fandi di bingkai foto yang ku genggam di tangan. Air mata kesedihan ini rasanya tak terbendung lagi, ingin ku hapus tetes air mata yang membasahi pipiku tapi jemari tanganku enggan melepaskan gambar foto orang yang pernah membuat hati ini menagis dan bersedih. Sampai saat ini ku belum bisa menerima semua kenyataan hidup ku ini. Tapi, ku harus mampu bangun dari semua ini.  Ku buka jendela kamar, rupanya malam telah berganti dengan pagi. Udara yang ku hirup di pagi ini begitu terasa, seolah ku tak bisa menghirup udara segera di kemudian hari. Matahari pun mulai terbit di ufuk timur. Suasana yang tadinya sepi dan mencengkeram seperti suasana hatiku menjadi hiruk dengan kicauan burung  burung yang bernyayi di pohon – pohon dekat rumahku. Embun pagi membasahi dedaunan dan rumput – rumput disekitar tempat mataku tertuju untuk melihatnya. Tapi hatiku masih terhanyut dalam kesedihan dan penyesalan atas keputusan dia di malam itu . hari – hari yang indah menghirup udara segar dan ternyata itu semua benar. Karena di hidupku yang tak punya arti lagi. Ingin ku cepat dari dunia ini. Lama diriku melamun, memandang dengan pandangan kosong dan tetes air mata yang masih bercucuran di pipiku. Tiba- tiba pintu kamarku di ketuk dari luar. Mungkin itu rafli yang sengaja membangunkan dari tidurku. Aku masih melamun dengan fikiran kosong. Sesekali ku dengar suara kicauan burung dan tak lama kemudian suara ibu terdengar di telingaku.
“Vina…vina …, udah pagi kamu belum bangun juga…” Cepetan bangunya, bentar lagi kita berangkat “suara ibu semakin keras berusaha mambangunkan aku. Aku cepat- cepat mengalihkan pandanganku yang tertuju pada foto digenggaman tanganku itu dan ketika itu juga aku beranjak dari tempat tidurku dan langsung membuka pintu kamarku.
“Vin., kamu buruan dong siap – siapnya, takutnya ntar kita lama disana.” Ibu lagi – lagi mengingatkanku untuk bergegas. “ ntar lagi bu, vin udah tahu. Ibu gak usah berharap banyak lagi, vina gak apa-apa kok bu, bentar lagi vina juga mungkin gak bisa lihat ibu.” Aku berusaha menyadarkan ibuku yang terlalu berharap kan kesembuhan dengan terapi yang sudah kujalani dari bulan yang lalu. Tetapi yang berharap bisa membunuh sel-sel racun tubuhku. Ibu kelihatannya terdiam seketika itu dan duduk dengan mata berwarna kemerahan dan mata berkaca – kaca. Aku berlari kekamar dan lagi – lagi gumpalan air mataku terpecah kan lagi membasahi pipiku. Entah sampai kapan ku bisa bertahan dari keadaan ini. Tak lama kemudian, aku pergi bersama ibu untuk terapi itu. Dalam perjalanan kesana, hatiku sudah tak tenang dengan kenyataan yang akan aku terima. Dan semua kegelisahanku itu terpecahkan. Kemungkinan aku tak bisa bertahan lagi dan hanya kebesaran Allah yang bisa memberikan umur lebih lama lagi di dunia ini. Aku terdiam, ibu berusaha menenangkanku.
“Sudahlah nak, yang penting ibu kan selalu berusaha untuk kesembuhan mu, ibu gak akan biarkan itu terjadi, kita berdoa saja ya…!”
Aku langsung merangkul ibu dan menagis dipelukannya.
“Oh …Tuhan…, apakah ku pantas nikmati hari- hari indah di hidupku yang begitu singkat ini ? Tuhan …” berikan aku kebahagian bersama Fandi untuk terakhir kali ini…” kata – kata itu terucap di hatiku ini tapi ku tak mau ibu tahu.
***
Kicauan burung membangunkan aku dari tidurku. Sesaat kemudian, ku buka mataku dan beranjak dari ranjangku. Dan ketika itu aku mengambil telepon genggam di lemari belajarku. Aku ingin sekali tanyakan kabar Fandi, Aku masih menganggap dia yang dulu juga, dan masih memperhatikanku. Ternyata sangka ku itu meleset. Tidak ada satu pun sms yang aku terima dari dia. tapi aku selalu berharap dari dia.
Aku kesekolah dengan fikiran kosong. Rasanya tubuh ini tak sanggup lagi berjalan dan menahan sakit di tubuh ini.  Dan juga sakit hati atas perbuatan fandi terhadap diriku. Aku sadar dia telah hancurkan dan tidak peduli padaku tapi aku ingin sekali ceritakan ini semua pada dirinya.
“ Hai fan, pagi….
Oya , Vin boleh gak curhat walau pun kita gak seperti dulu lagi ? “ aku berusaha untuk mengejar fandi yang bergegas masuk kelas. Fandi tak member respons sedikitpun pada ku dan aku terpaksa berlalu untuk tidak ganggu dia lagi dengan masalah – masalah aku selama ini.
“ Udah , lupakan fandi , fan gak pantes untuk vin. Fan itu Cuma bisa buat vina sedih terus. Fandi gak mau vina lebih sedih ketika fandi tinggalkan. Fandi mau pidah, fandi gak mau vin ganggu hidup fandi lagi. Ya udahlah , lupain dan jangan ganggu Fandi !”
Padahal aku belum sempat ceritakan tentang penyakitku ini padanya aku takut tak bisa pamit buat terakhir kalinya.
Langkahku tertatih, kepalaku tertunduk. Terik matahari menyengat tubuhku yang semakin lemah ini.
“Tuhan, jika engkau ingin mengambil nyawaku , aku rela jangan siksa batinku ini. Ku ingin hidup yang tinggal beberapa waktu lagi bersama dengan dia” aku berteriak sekuat tenagaku, hingga pandangan orang – orang tertuju padaku. Aku tiba –tiba merebahkan diri di lapangan basket sekolah. Dan selanjutnya aku tak sadar kan diri lagi. Ketika kusadar telah berada dikamarku, terbaring kaku dengan selimut berwarna pink dengan bunga berwarna kehijauan ibu dan ayah cemas dan khawatir melihat keadaanku. Aku hanya bisa tersenyum melihat mereka. Karena aku tak ingin menampakkan kesedihan pada mereka.
“Kamu tadi pingsan dilapangan basket dan ketika itu teman - teman vina bawa vin pulang.” Ibu menceritakan kejadian ketika aku tak sadarkan diri.dan ketika itu ibu langsung menyodorkan kaset yang aku fikirkan tadi.
“Makasih.” Sahut aku pada ibu.
Entah kenapa ketika itu aku ingin sekali bangun dari tempat tidurku dan ingin berkaca di depan cermin lemariku. Tapi ibu tak menizinkannya. Rambutku di belai oleh ibu dengan begitu lembut dan penuh rasa kasih sayangnya. Dan tiba …tangan orang yang sangat ku kasihi itu dipenuhi oleh gumpalan rambutku yang hampir mati tersebut. Aku hanya mampu menangisi semua itu tak terbayang oleh ku ketika rambutku yang hari demi hari akan habis dan aku akan seperti orang yang tak punya semangat hidup lagi dengan wajah yang pucat dan seluruh tubuhku juga pucat. Dan rambut yang sudah habis hari demi hari. Dan serta sel-sel racun yang semakin menyebar di seluruh tubuhku ini mengerogoti aku hingga aku tak tahan lagi menahan sakit merintih kesakitan . semua itu akan terjadi dan dalam waktu yang singkat ini. Tapi dalam keadaan ku sekarang, aku masing mengingat dan memikirkan orang yang selama ini mengisi hari-hari ku dengan indah, orang yang sangat ku sayangi dan sangat ku pedulikan. Namun, orang yang selalu kufikir itu telah pergi dari hidupku. Aku takut dia juga akan pergi dari hidupku sebelum aku pergi jauh. Ibu yang dari tadi menatap wajah ku yang semakin sayu iba melihatku. Mungkin di umurku yang sudah beranjak 16 tahun ini belum pernah memberikan secercah kebahagiaan untuk orang yang kukasihi itu.
“ Aduh ….sakit bu …sakit … vin gak sanggup lagi tahan sakit ini bu …”
Mendengar rintihanku, ibu semakin khawatir melihat ku dan lagi –lagi aku merintih kesakitan tapi kali ini aku tak merintih kesakitan karena penyakit leukemia yang selama ini ku derita melainkan penyakit jantung yang selama ini ku rahasiakan dari keluargaku. Aku sengaja merahasiakan penyakit tersebut semenjak dua tahun yang lalu karena ku tak ingin semua orang yang ku kasihi ku menjadi semakin takut kehilangan ku dalam waktu yang singkat . memang penyakit jantung yang aku derita tak separah Leukemia ini, aku hanya bertahan dengan obat obatan yang ku beli di apotek dengan resep dokter. Tapi kali ini begitu sakit, aku kesakitan dengan penyakit – penyakit yang mengrogoti tubuhku.
“ Tuhan …berikan aku kekuatan untuk hadapi kenyataan ini.” Aku terbatah – batah yang aku anggap tak asing lagi oleh ku. Detak jantungku berdenyut kencang, dan ketika itu juga saat dadaku sesak aku menyodorkan kaset rekama suara itu pada ibu. Aku menagis dan juga merintih kesakitan.
“ Ibu…tolong berikan ini kepada Fandi”. Aku ingin dia hadir di pemakaman aku besok atau nanti .
Kata – kata itu langsung saja terucap di bibirku dan seketika itu juga ibu dan ayah juga rafli memandangi wajahku dengan mata berkaca –kaca. aku terharu,  aku berusaha tersenyum untuk yang terakhir kalinya pada mereka semua. Aku berusaha untuk memejamkan mataku, karena aku tak sanggup lagi menahan sakit ini semua, sakit ditinggal karena orang yang di sayangi. aku berusaha untuk menenangkan fikiran mereka. Aku tersenyum pada ayah, ibu dan rafli. aku sempat melihat melihat jam dinding menunjukkan pukul 13.00 wib seketika itu juga aku mengehembuskan nafas yang terakhir kalinya. Langit yang semulanya terang menjadi gelap, awan hitam mulai menyelimuti langit. Semuanya menjadi berubah, mungkin bumi tahu akan kesedihan yang menimpa keluargaku. Tepat pukul 16.00 wib, semua keluarga dan orang – orang telah ramai berada di tempatku untuk mengucapkan rasa belasungkawa.
Waktu terasa begitu cepat berlalu, air mata mengantarkan kepergianku ketempat peristirahatan terakhirku ini. Aku hanya bisa tersenyum melihat semua kenyataan yang terjadi. Kini diriku telah berbeda, nama fandi akan selalu menjadi kenangan di dalam hatiku.
Fandi sangat menyesal dan sedih dengan semua kenyataan yang terjadi.” Andai saja aku tak mengambil keputusan secepat itu, mungkin aku akan ada di saat-saat terakhir bersama vina.” Aku kasihan lihat dia, aku menyesal dengan semua sikap- sikapku. Kenapa aku katakan kalau aku pindah dan pergi meningalkannya ?
Kenapa ? vin …maafin aku.”
Suara fandi terdengar lirih mengatakan semua ungkapan kekesalannya di kamar fandi dan fandi juga tak sabar memutar kaset rekaman yang diberikan ibuku pada dia.
“Andai saja vin bisa menceritakan ini semua  sebelum vin pergi, mungkin fandi tidak akan merasa menyesal yang mendalam tapi vin gak sanggup untuk menceritakan semua penyakit yang vin derita selama ini sama fan. Selama ini vin menderita, kesakitan tapi vin gak mau lihatkan itu semua pada orang . maaflkan vin, selamat tinggal, vin berharap suatu saat nanti kita dipertemukan kembali di alam yang berbeda.”
Air mata fandi berlinang mendengar perkataan orang yang di kasihi. Tapi semua penyesalan fandi padaku tak ada lagi, tak berarti lagi dengan luka yang telah di goreskan pada aku, orang yang sangat di kasihinya itu.
by : Santi Andriani Putri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar